Selasa, 01 Februari 2011

Tanaman Obat; Kisah Pencarian Daun Cincau

Pada saat umurku baru 2 minggu, ibu cemas sekali, soalnya Kakay terkena batuk, ketularan Kak Nti, teman Kakay. Selain Kakay, sempat juga Kakak kena pilek, entah karena apa.

Nah, ibuku cemas karena takut aku terkena batuk dan pilek juga. Tapi ternyata, alhamdulillah, sampai sekarang umurku dua bulan lebih, aku nggak ketularan mereka (mudah-mudahan seterusnya enggak, ya...). Kenapa aku nggak ketularan? Bu Bidan pernah menghibur ibuku, katanya nggak perlu cemas, selama aku minum air susu ibu, aku akan sehat dan jarang sakit. Dan...satu lagi; setiap mau tidur, ibu membubuhkan bubuk biji pala yang dibasahi dengan beberapa tetes air di atas ubun-ubunku. Aku jadi terhindar dari batuk dan pilek, dan tidurku pun jadi lebih nyenyak. Pada pagi harinya sebelum mandi, bubuk pala itu dibasuh dan kepalaku bersih kembali.

Ibuku percaya sekali bahwa tanaman obat sangat manjur kalau dipakai sehari-hari. Di teras banyak sekali tanaman obat; ada pegagan, daun dewa, sambung nyawa, aloevera, cincau rambat, jahe merah, dan banyak lagi. Pegagan itu tanaman merambat yang biasa tumbuh di pematang sawah, gunanya untuk vitamin otak, baik untuk anak-anak dan orang tua. Trus, daun dewa kalau dilalap bisa mengobati tumor dan mencegah kanker, juga untuk menyembuhkan luka bakar dan luka disengat binatang berbisa. Kalau sambung nyawa, ibu biasa membuat jus dari 7 helai daun sambung nyawa dicampur 2 helai daun dewa, untuk diminum ayah untuk obat hypertensi. Nah... kalau oloevera dan cincau rambat, gunanya untuk mendinginkan perut. Terutama cincau, banyak sekali vitaminnya, dan sangat bagus untuk diet. Itu sebabnya setiap hari 2 kali, ibu membuat coctail yang terdiri dari buah pepaya, melon yang dipotong kecil-kecil, dicampur cincau. Tapi cincaunya beli di supermarket, karena tanamannya di rumah masih keciil sekali...:)


Nah...cerita tentang daun cincau ini heboh sekali. Saking inginnnya membuat cincau sendiri, ibu bela-belain mencari pohon cincau untuk ditanam. Trus, Bu I'i (adik ayah) sampai mencarikan daun-daun cincau ke kantornya di Sunter. Trus Mas Iwan, sopir kami, sampai mencari pohon cincau di rumah bekas majikannya. Sampai-sampai ibu juga mendatangi rumah herbalis bernama Ibu Kuncoro di Depok Siliwangi untuk mencari pohon cincau, eh... nggak ada juga. Akhirnya pas jalan-jalan ke kebun Trubus, dapet juga 1 pot pohon cincau, itupun masih keciiil sekali.

Setelah beberapa bulan kemudian, ceritanya ibu sudah putus asa mencari daun cincau... Kejadiannya 3 hari yang lalu. Ketika kami jalan-jalan pagi (seiap pagi ibu membawaku berjemur di depan rumah tetangga), ibu ngobrol dengan Tente Endang, tetangga samping rumah. Rumahnya di seberang jalan agak ke belakang, gitu. Ternyata Tante Endang punya pohon cincau!! Jadi ibu langsung saja minta. Tapi begitu kami ke rumah Tante Endang untuk minta daun cincau...ternyata ... sudah habis ludes dibabat oleh ayahnya Tante Endang!
"Loh...padahal kemarin siang masih ada, lho... " kata Tante Endang heran.
Aduuh...ibuku  dan Tante Endang menyesaaal sekali. Mana sebelum dibabat daun-daunnya rimbun, lagi! Hanya terlambat setengah hari, pohon cincau idaman hilanglah sudah...

Tapi karena penasaran, ibuku masih bertanya-tanya, kalau dibabatnya kemarin sore, pastilah pagi ini masih ada di sekitar situ. Biasanya kan kalau kita memotong rumput, pasti rumput2 itu dibungkus di kantong plastik untuk dibuang, kan? Maka ibuku mencari-cari kalau-kalau ada kantong plastik berisi daun-daunan. Dan...benar saja! Ada 2 kantong plastik disangkutkan di pagar rumah di sudut halaman. Begitu ibu memeriksanya, satu diantaranya ya berisi daun-daun cincau yang masih segar di rantingnya!!
Horeee!!! Ibuku senang sekali!

Akhirnya, kami punya stok daun cincau segar selama 5 hari. Senangnya...Tercapailah keinginan ibuku membuat cincau sendiri. Hijau, segar, tanpa bahan pencampur dan pengawet!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar